Jumat, 06 Januari 2012

'Negeri 5 Menara': Etika Kesuksesan dalam Islam

Jakarta - Dalam 5 hari sejak diputar di bioskop pada Kamis (1/3/2012) film 'Negeri 5 Menara' telah mampu mendatangkan 200 ribu penonton. Jaringan bioskop 21/XXI pun terus menambah layar untuk film tersebut hingga 100 lebih, dan di Jakarta beberapa bioskop memutarnya pada 2 studio sekaligus.

Sensasi itu mengulang fenomena 'Laskar Pelangi' beberapa waktu lalu. Dari hampir semua segi, pengulangan itu sama persis: sama-sama diangkat dari novel laris, dan sama-sama berkisah tentang anak-anak 'daerah' yang bermimpi meraih cita-cita tertentu, yang berkaitan dengan 'luar negeri'.

Yang beda adalah latar belakang ceritanya. Jika 'Laskar Pelangi' berlatar kampung miskin di Belitong, maka 'Negeri 5 Menara' berlatar pesantren modern yang keren di Ponorogo. Pemimpin pesantren tersebut, Ustad Rais, suatu kali memainkan intro 'Smoke on the Water'-nya Deep Purple sambil berkata, "Main gitar itu harus dari hati." (Kurang keren apa coba?)

Para ustad di jajaran pengajar pun tak kalah nyentrik. Salah satunya Ustad Salman yang masuk ke kelas membawa sebatang kayu, lalu menghunus golok berkarat, dan dengan sekuat tenaga berusaha memotong kayu itu.

"Lihat, yang berhasil itu bukan yang paling tajam, tapi yang bersungguh-sungguh," katanya, lalu memperkenalkan ungkapan "man jadda wajada" (siapa yang bersunguh-sungguh akan sampai), yang menjadi mantra sakti bagi kesusksesan novel karya A Fuadi tersebut.

Eksplorasi keseharian pesantren tersebut menjadi tulang punggung alur cerita, dengan fokus pada sekelompok santri yang membentuk pertemanan dengan nama Sahibul Menara. Mereka adalah Alif, Baso, Atang, Said, Raja dan Dulmajid. Nama Sahibul Menara merujuk pada kebiasaan mereka yang suka beristirahat siang di bawah menara yang menjulang di pesantren itu.

Kekaguman pada menara yang "tampak menyentuh langit" itu juga mengilhami mereka untuk melahirkan kesepakatan. Kelak, kalau berhasil mengunjungi negara impian masing-masing, mereka akan bertukar foto menara dari negera tersebut.

Kelucuan dan keharuan mengaduk emosi penonton sebagai kilasan-kilasan sketsa yang silih-berganti. Kebersamaan dan kekompakan selalu menyertai apapun yang mereka lakukan. Beberapa tokoh mendapat porsi lebih besar ketimbang yang lain. Alif bahkan diikuti dari awal, sejak lulus SMU di Bukittinggi. Baso terkesan paling kuat katakternya.

Tak ada kejadian luar biasa, konflik besar atau tokoh yang sangat menonjol. Alif yang kemudian bergabung ke majalah pesantren juga sekedar untuk melukiskan keragaman aktivitas di pesantren. Namun, semuanya menarik untuk diikuti karena penonton sejak awal duduk dengan kesadaran untuk menonton sebuah "success story".

Apapun yang terjadi di pesantren itu, yang menimpa dan dilakukan oleh para Sahibul Menara itu, memiliki makna penting karena kelak akan dikenang sebagai pembentukan pribadi dari sebuah sikap sukses. Etos "man jadda wajada" menjadi jiwa bagi setiap langkah mereka.

Salman Aristo mengadaptasi naskah novel Fuadi ke dalam skenario yang bagus, dan Affandi Abdul Rahman menerjemahkannya ke dalam gambar-gambar seindah kartu pos yang dikirim teman dari kampung. Beberapa gambar cukup menggetarkan, misalnya ketika kamera bergerak dari depan sebuah kelas di bangunan lantai atas pesantren, memperlihatkan para santri senior membacakan peraturan kepada santri-santri baru.

Juga, adegan bubaran para santri setelah mendengarkan kuliah umum dari Ustad Rais. Masjid yang pintunya bertangga tinggi dan lebar itu penuh santri yang menghambur dari dalam masjid, dan bergegas kembali ke kamar masing-masing. Indah dan khidmat.

Sama-sama mengangkat dunia pesantren, dibandingkan dengan '3 Doa 3 Cinta' yang berkonteks "politik", 'Negeri 5 Menara' terasa lebih sebagai sebuah cerita hiburan yang sangat manis. Etika kesuksesan dalam Islam 'diajarkan' dengan ringan, nyaris tanpa kotbah yang menggurui.

Menyenangkan sekali menyaksikan Lulu Tobing muncul lagi di layar besar (berperan sebagai ibunda Alif), namun puncak dari sensasi itu tentu saja kehadiran Ikang Fauzi yang mengerahkan segala upaya untuk "berjawa-jawa" sebagai Ustad Rais. Yang tak boleh dilupakan untuk dipuji adalah para pemeran anggota Sahibul Menara yang terjaring lewat casting di berbagai daerah.

Keberanian film ini untuk menampilkan orang-orang biasa sebagai pemeran utamanya sungguh berani dan terpuji, dan hasilnya pun luar biasa. Bravo buat Gazza Zubizareta, Ernest Samudera, Rizki Ramdani, Jiofani Lubis, Aris Putra dan Billy Shandy yang dengan gaya dan logat mewakili berbagai daerah di Indonesia telah memainkan peran masing-masing dengan natural, wajar dan mengesankan!
(mmu/mmu)

06 Mar, 2012



www.digosip.blogspot.com