Rabu, 04 Januari 2012

Pentas 'Zweiland': Tarian Jalanan Sasha Waltz

Jakarta - Dua tubuh pria tanpa busana (hanya mengenakan cawat) menyatu jadi satu. Kepala yang satu menjadi kepala yang lain, demikian juga tangan. Itu menjadi pemandangan yang aneh, sampai kemudian seseorang datang, dan mengakhiri 'sulapan' itu.

Berbagai peristiwa aneh terjadi di jalanan, di antara orang-orang yang saling asing dan tak saling kenal. Hal-hal menarik yang menjadi perhatian bersama menyatukan jiwa mereka dalam interaksi yang unik, tak jarang ajaib.

Itulah gambaran yang tertangkap dari pergelaran tari kontemporer bertajuk 'Zweiland' karya koreografer Jerman Sasha Waltz. Goethe Institut Jakarta mengundangnya untuk mempertujukkan karya tersebut di kota kota. Pertujukan dibuka untuk umum dan gratis.

Sasha Waltz memukau penonton melalui kisah-kisah imajinatif dan sureal yang diangkat dari keseharian yang sepele. 'Zweiland' yang dipentaskan pertama kali pada 1997 mengajak penonton menengok kembali ruang publik yang paling dekat, jalanan.

Dinamika dan suasana denyut kehidupan jalanan dituangkan ke dalam adegan gerakan yang ritmis. Disebut sebagai pertunjukan tari, sebenarnya 7 penampil --4 pria, 3 wanita-- di atas panggung tak terlalu banyak "menari". Tapi, apa sebenarnya "menari" itu?

Sasha Waltz belajar tari dan koreografi sejak 1983 di Amsterdam dan New York. Lewat karya-karyanya ia telah meraih berbagai penghargaan antara lain dari Prancis dan pemerintah Jerman. Karya-karyanya mengajak penonton menyelami dunia perasaan dan impian.

Dengan pendekatan yang puitis, Sasha menciptakan 'Zweiland' sebagai cermin yang memantulkan bayangan dunia jalanan yang menyimpan berbagai kekayaan kemungkinan. Pertemuan, penyatuan, perpisahan, keberduaan bahkan permainan hingga perpisahan terjadi di jalanan. Jalanan menjadi perpustakaan sosial bagi studi watak manusia.

'Zweiland' adalah sebuah pertunjukan yang menyentuh sekaligus kocak, nyata sekaligus absurd, dikemas sebagai semacam dongeng yang dibingkai dengan lagu-lagu rakyat Jerman dari berbagai zaman. Lagu-lagu itu dibawakan sendiri oleh para pemeran, sambil memainkan musik, sehinga menjadi satu dengan tarian.

Kayu-kayu yang awalnya terlihat sebagai puing reruntuhan sebuah bangunan yang teronggok sebagai properti, oleh para penampil diberdayakan menjadi bagian dari gerak. Di sinilah, 'Zweiland' memperlihatkan kekuatan dramaturgi tari kontemporer Jerman yang tak semata menonjolkan gerakan tari, tapi juga adegan yang teatrikal.

Dua tubuh yang menyatu di bagian awal pertunjukan bisa jadi merupakan metafora dari penyatuan dua Jerman di masa lalu. 'Zweiland' sendiri artinya dua negeri. Tapi, penonton bisa menafsirkannya sesuai imajinasi masing-masing setelah menyaksikan.

Setelah menyapa masyarakat Jakarta dan sekitarnya lewat pementasan di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Kamis (1/3/2012), 'Zweiland' bisa disaksian pada dua kesempatan lagi. Masing-masing di Taman Budaya Jawa Barat, Bandung, Senin (5/3/2012) pukul 20.00 WIB malam nanti, dan Teater Besar ISI Surakarta, Jumat (9/3/2012).

(mmu/mmu)

05 Mar, 2012



www.digosip.blogspot.com