Jumat, 10 Februari 2012

Kemasan Baru, Cerita Lama Dari 'Rindu Purnama'

Teknologi dan pengetahuan sinematografi berkembang pesat, namun konsepsi kontemporer tentang anak jalanan tetap tak berubah. Setelah capaian yang begitu cemerlang lewat film 'Daun di Atas Bantal' (Garin Nugroho, 1997), sinema Indonesia kembali merepresentasikan anak jalanan sebagai sekumpulan anak malang yang pantas dikasihani. Dunia mereka, dunia kaum miskin urban Jakarta, digambarkan sebagai dunia yang tampak tak berdosa, tanpa kekerasan dan penuh kasih sayang.

Gambaran seperti itu bukanlah sesuatu yang baru. Gambaran romantis tentang kaum miskin dan anak jalanan muncul sejak 1970-an lewat film-film seperti 'Sebatang Kara' (1974) dan 'Ratapan Si Miskin' (1975). Setelah reformasi, muncul film 'Joshua Oh Joshua' (2000) atau 'Sepuluh' (2009). Dalam film-film itu, kehidupan kaum bawah , terutama dengan karakter anak-anak, diperlihatkan dengan sangat romantis. Anak-anak kaum miskin ini digambarkan sebagai korban dari keadaan, sementara jiwa dan dunia mereka pun digambarkan sedemikian murni, tanpa polusi lingkungan mereka yang keras.

Dunia seperti itulah yang memungkinkan sebuah romansa terjadi. Romansa yang diperuntukkan bagi kelas menengah atas yang mengalami kegalauan dan kebingungan –kadang tanpa alasan yang jelas. Motif itulah yang diangkat film debut Mathias Muchus, 'Rindu Purnama'. Dibiayai oleh perusahaan film Mizan Production, film 'Rindu Purnama' bercerita tentang Rindu a.k.a Purnama, anak jalanan yang tinggal di rumah singgah yang dikelola oleh seorang perempuan cantik berjilbab bernama Sarah.

Karena dikejar-kejar aparat ketertiban, Purnama tertabrak mobil milik Surya, seorang eksekutif muda yang gila kerja dan masih hidup sendiri. Surya segera meninggalkan tempat kejadian dengan menggunakan taksi, sementara Purnama dibawa ke rumah sakit oleh Pak Pur (dimainkan secara mengesankan oleh Landung Simatupang), sopir pribadi Surya. Di tengah kesibukannya menjalankan proyek baru bersama Monik, yang tak lain adalah anak Pak Roy, pemilik perusahaan properti tempat Surya bekerja, Surya ingin segera menyembuhkan Purnama agar cepat pergi dari rumahnya.

Namun Purnama menghilang. Surya yang awalnya jengkel dengan kehadiran Purnama, pelan-pelan berubah. Ia menyesali perlakuan kasarnya. Ia pun berusaha mencari keberadaan Purnama melalui gambar-gambar yang dibuat Purnama. Di tempat lain, Sarah dan anak-anak rumah singgah juga mencari keberadaan Purnama. Seperti yang bisa diduga, Surya bertemu Sarah. Mereka pun akhirnya mencari Purnama bersama-sama hingga Purnama sendirilah yang kembali ke rumah singgah.

Kedekatan Surya dan Sarah membuat Monik cemburu. Alhasil proyek properti yang tengah dijalankan bersama Surya, dikembangkan arealnya hingga harus menggusur rumah singgah. Dengan situasi inilah, Surya yang terkesan dingin dan tak peduli berubah menjadi penolong bagi orang-orang di sekitarnya. Dengan materi cerita seperti ini, film berusaha menyasar penonton keluarga. Pesan yang ingin disampaikan cukup jelas, bahwa cinta dapat mengubah semua orang.

Dalam kasus film ini, cinta seorang anak jalanan, Rindu alias Purnama berhasil mengubah kepribadian Surya dan mempertemukannya dengan kekasih hatinya. Hal itu diwujudkan dalam eksekusi produksi yang sangat rapi, dengan tata artistik dan tata kamera yang membuat perumahan kumuh menjadi seindah obyek pariwisata. Dibandingkan film-film yang menghadirkan karakter jalanan masa kini, macam 'Alangkah Lucunya [Negeri Ini]', film 'Rindu Purnama' relatif memiliki jalan cerita yang lebih masuk akal, kalau tidak mau dibilang baku dan mudah ditebak.

Skenario film yang ditulis oleh Mathias Muchus dan Ifa Isfansyah berpaku pada stereotip dan typecasting yang membuat penonton mengetahui akhir film dengan segera. Contoh yang mudah dilihat adalah pada karakter Sarah dan Monik. Sarah ditampilkan sebagai gadis berjilbab yang baik, feminin, memiliki sifat keibuan dan oleh karena itu akan mendapatkan sang pangeran (baca: Surya). Sementara Monik yang cantik, kaya dan memiliki daya (apalagi berpendidikan Amerika) bukanlah perempuan baik-baik yang bisa dijadikan istri yang solehah.

Yang cukup mengherankan tentunya karakter anak-anak jalanan sendiri yang sepertinya steril dari kehidupan keras kaum miskin urban Jakarta. Sejak kapan anak jalanan aman dari ancaman pelecehan seksual, eksploitasi ekonomi, usaha mutilasi hingga perdagangan anak? Tapi, tentunya menampilkan kompleksitas anak jalanan bukanlah tujuan utama film ini.

Secara sederhana, film ini bicara soal bagaimana kehadiran seseorang bisa mengubah nasib banyak orang. Macam cerita Hollywood, seseorang itu tentu akan berhasil mencegah kemungkaran dan menegakkan keadilan. Saya hanya berharap bahwa sosok Surya itu memang benar-benar ada di Jakarta, sehingga tidak semakin banyak kaum miskin kota tergusur dari tempat hidupnya. Kalau cerita itu tidak pernah ada di dunia nyata, maka kita sebagai penonton hanya akan bilang, "Ah, namanya juga film, bisanya ngarang."


www.digosip.blogspot.com