Rabu, 01 Februari 2012

'Rumah Tanpa Jendela' : Antara Realita & Mimpi

Keluarga, lengkap dengan rumah besar, mobil bermerek, perabotan tiruan dari Eropa serta pembantu-pembantunya merupakan gambaran kemapanan di negeri dunia ketiga seperti Indonesia. Banyak orang memimpikan keluarga utuh seperti ini, tak terkecuali Rara (8 tahun). Ia tinggal bersama ayahnya, Raga (dimainkan secara meyakinkan oleh Raffi Ahmad) dan neneknya di daerah kumuh di Menteng Pulo, Jakarta.

Rara yang belajar di sekolah singgah bersama teman-temannya sesama anak rakyat jelata bercita-cita memiliki jendela di rumahnya yang sempit dan sumpek. Namun, Raga yang berjualan ikan hias dan tukang sol sepatu tidak mempunyai cukup uang untuk mengabulkan permintaan Rara, sementara neneknya, yang dipanggil Si Mbok, selalu sakit-sakitan.

Suatu hari Rara terpeleset karena didorong temannya dan akhirnya jatuh di dekat mobil keluarga Aldo (11 tahun). Ia bocah autis yang merupakan anak ketiga dari keluarga Pak Syahri, yang tak memiliki banyak teman karena perbedaan yang dimilikinya itu, dan juga karena keluarganya telah sibuk dengan kegiatan masing-masing. Bersama neneknya, Aisyah dan sopirnya, Tarjo, Aldo pun membawa Rara ke rumah sakit dan mengantarkannya pulang.

Sejak itu, Aldo dan Rara pun berteman baik. Aldo dan kakaknya, Adam serta Tarjo membawa buku-buku untuk sekolah singgah Rara yang dikelola oleh seorang mahasiswi berkerudung bernama Alya. Anak-anak sekolah singgah sering bertandang ke rumah Aldo untuk berenang. Pada ulang tahun ke-17 kakak perempuannya, Aldo mengajak teman-temannya dari rumah singgah untuk menari saat band Adam bermain di panggung. Hal itu membuat kakaknya malu.

Aldo sedih sekali saat kakaknya menyebut dirinya aneh. Sementara pada malam yang sama saat pesta berlangsung, Raga berhasil mendapatkan kusen jendela bekas. Namun, momen yang mestinya membahagiakan itu justru menjadi awal malapetaka bagi Rara, dan orang-orang di sekitarnya. Bila menilik plot cerita film yang diangkat dari cerpen berjudul sama karya Asma Nadia ini, kita dengan mudah dapat menebak dramaturgi film.

Sama seperti film-film tentang anak jalanan dan anak-anak kaum miskin lainnya, film ini akan mengetengahkan dunia anak-anak kaum miskin yang menguras air mata. Soal persahabatan antara si kaya dan si miskin sendiri tentu bukan hal yang baru. Film seperti ‘Langitku Rumahku’ (Slamet Rahardjo, 1989) juga mengetengahkan alur cerita yang sama. Mungkin yang sedikit berbeda, film ini dikemas sebagai film musikal anak-anak.

Meski sebagai genre musikal dapat dikatakan kurang adegan musiknya, namun flm ini berhasil menghindari jebakan klise film-film yang biasanya membawa misi-misi moral seperti ini. Dbandingkan film garapan Mathias Muchus, 'Rindu Purnama' yang beredar pada bulan yang sama, film ini relatif lebih jujur dan tulus. Memang, seperti film Indonesia pada umumnya, ia menghindari penggambaran kontradiksi kelas sosial yang terlalu nampak, namun ia tak menggambarkan kemiskinan secara eksotik dan berjarak.

Hampir seluruh karakter dalam film ini dihadirkan dengan semacam rasa simpati dan kesalehan —meskipun ia seorang pelacur. Oleh karena itu, ia berhasil menghindari stereotip. Di wilayah teknis, film ini masih lemah, terutama di departemen tata suara, editing dan sinematografi. Namun, ia setidaknya masih mengikuti plot cerita yang jelas dan karakterisasi yang cukup masuk akal.

Akting dari beberapa aktornya (terutama yang perlu disebut Emir Mahira dan Atie Kanser) cukup menolong film ini. Adegan-adegan akhir yang penuh drama (dan terlalu panjang) mungkin tidak akan menarik selera anak-anak. Namun secara keseluruhan, film ini bisa menjadi alternatif tontonan yang cukup menyehatkan bagi seluruh keluarga.


www.digosip.blogspot.com